http://ejournal.iainptk.ac.id/index.php/jil/issue/feedJournal of Islamic Law2024-04-12T07:51:54+00:00Muhammad Lutfi Hakimluthfyhakim@gmail.comOpen Journal Systems<p>The<em> Journal of Islamic Law</em> (e-ISSN <a href="https://portal.issn.org/resource/ISSN/2721-5040">2721-5040</a> & p-ISSN <a href="https://portal.issn.org/api/search?search[]=MUST=allissnbis=%222721-5032%22&search_id=24101097">2721-5032</a>) is a double-blind peer-reviewed journal published twice a year (in February and August) by <a href="https://iainptk.ac.id/">Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak</a>. First published on February 25, 2020, this journal serves as a platform and forum for scholars and researchers interested in the issues related to Islamic law and society in Muslim and non-Muslim countries from various perspectives, covering both theoretical and practical studies. Its primary aim is to disseminate original research and address contemporary issues within the subject. The journal has been registered as a <a href="https://search.crossref.org/?q=2721-5040&from_ui=yes">CrossRef member</a> since 2020. Therefore, all articles published by this journal will have a unique Digital Object Identifier (DOI) number.</p> <p>On January 1, 2024, the Journal of Islamic Law was accepted for inclusion in <a href="https://suggestor.step.scopus.com/progressTracker/?trackingID=AF444AF2D1A74BC6">Scopus</a>. Additionally, the journal has been reaccredited, upgrading from <a href="https://drive.google.com/file/d/1_v5aMDFnGYCUEP-dSZ9ZZQLM6LfzZoVX/view">Sinta 4</a> to <a href="https://sinta.kemdikbud.go.id/journals/profile/9792">Sinta 1</a>, by the Ministry of Education, Culture, Research, and Technology of the Republic of Indonesia through Decree No. <a href="https://drive.google.com/file/d/1wJcsof2Btv6L4er-1vE8QB0552IjZRb8/view?usp=sharing">72/E/KPT/2024</a>.</p>http://ejournal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/1972Alternative Legal Strategies and Ninik Mamak Authority: Dual Administration of Malay Marriage in Koto Kampar Hulu, Riau2024-04-07T07:06:08+00:00Mustafid Mustafidmustafid@uinsyahada.ac.idKemas Muhammad Gemilangkemas.muhammad.gemilang@uin-suska.ac.idFirman Surya Putraputra21246@gmail.comAzzuhri Al Bajuriazzuhri@iaile.ac.idMawardi Mawardiadivilda@gmail.com<p>The regulation of marriage registration in several Muslim countries tends to emphasize administrative aspects rather than substantive ones. For the Malay customary community in Koto Kampar Hulu, Riau, Indonesia, their obligations are not only limited to fulfilling marriage administration under state law but also involve obtaining permission from <em>ninik mamak</em> (traditional leader). Therefore, this article aims to analyze marriage administration in the context of customary law and state law within the Malay customary community, as well as to reveal alternative legal strategies they employ to circumvent traditional marriage administration. Field research was conducted through interviews with 16 key informants and direct observation of the completeness of marriage administration. The results show that the Malay customary community must navigate dual marriage administrations—customary law and state law—to obtain the legality of marriage before the state. Permission from <em>ninik mamak</em> serves as the basis for acquiring documents from the village head, fulfilling the administrative requirements for marriage registration at the local religious affairs office. The authority of <em>ninik mamak</em> in granting marriage permission aims to resolve conflicts and customary obligations before marriage while preserving the identity and traditions of the customary community. For those who disregard customary administration, they adopt alternative legal strategies such as unregistered marriages (<em>nikah sirri</em>) or relocating to another village. The alignment between customary law and state law is reflected in this study, particularly in the context of marriage registration.</p> <p>[<em>Regulasi pencatatan perkawinan di beberapa negara Muslim cenderung menekankan aspek administratif daripada substansial. Bagi komunitas Adat Melayu di Koto Kampar Hulu, Riau, Indonesia, kewajiban mereka tidak hanya terbatas pada pemenuhan administrasi perkawinan dalam hukum negara, tetapi juga melibatkan proses mendapatkan izin dari </em>ninik mamak<em> (tokoh adat). Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menganalisis administrasi perkawinan dalam konteks hukum adat dan hukum negara di kalangan komunitas Adat Melayu, serta mengungkap strategi hukum alternatif yang mereka terapkan untuk mengelabui administrasi perkawinan adat. Penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan 16 informan kunci dan observasi langsung terhadap kelengkapan administrasi perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas Adat Melayu harus mengatasi administrasi perkawinan ganda, yaitu hukum adat dan hukum negara, guna mendapatkan legalitas perkawinan di hadapan negara. Izin dari </em>ninik mamak<em> menjadi dasar untuk memperoleh dokumen-dokumen dari kepala desa, persyaratan administratif untuk pencatatan perkawinan di kantor urusan agama setempat. Otoritas </em>ninik mamak<em> dalam pemberian izin perkawinan bertujuan untuk menyelesaikan konflik dan tanggungan adat sebelum perkawinan, sambil melestarikan identitas dan tradisi masyarakat adat. Bagi masyarakat yang mengabaikan administrasi adat, mereka mengadopsi strategi hukum alternatif seperti perkawinan siri atau pindah domisili ke desa lain. Keselarasan antara hukum adat dan hukum negara tercermin dalam studi ini, khususnya dalam konteks pencatatan perkawinan.</em>]</p>2024-01-29T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##http://ejournal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2153The ‘Double-Faced’ Legal Expression: Dynamics and Legal Loopholes in Interfaith Marriages in Indonesia2024-04-12T07:51:54+00:00Ahmad Rajafiahmad.rajafi@gmail.comArif Sugitanataarifsugitanata@gmail.comVinna Lusianavinnalusiana.mkn@gmail.com<p>Interfaith marriages remain a controversial subject among scholars in Indonesia. Despite the legal prohibition, the practice of interfaith marriage continues to persist. This article analyses various legal norms, decisions of the state courts and the Indonesian Constitutional Court related to interfaith marriages, revealing disparities between legal norms and practical implementation. Employing a normative approach through a literature review, this research finds that the state legislation strictly prohibits interfaith marriage. Paradoxically, couples navigate a legal workaround, exploiting a loophole in Population Administration Law No. 23 of 2006 to formalise their marriages. They submit applications to the district court, and the court’s decisions serve as the basis for recording their union. Some couples also employ an alternative strategy by marrying abroad and subsequently registering their unions upon returning to Indonesia. The article argues that the state’s legal expression in regulating the practice of interfaith marriages in Indonesia manifests ‘double face’. This study holds significant implications, particularly in enhancing policy comprehension, providing profound insights into the legal dynamics of interfaith marriages in Indonesia, and assessing its impact on citizens’ religious freedom.</p> <p>[<em>Perkawinan beda agama di Indonesia masih menjadi isu kontroversial di kalangan para sarjana. Meskipun hukum negara telah melarangnya, praktik perkawinan beda agama masih terus berjalan hingga saat ini. Artikel ini menganalisis sejumlah hukum negara, putusan Pengadilan Negeri, dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait perkawinan beda agama di Indonesia, mengungkap disparitas antara aturan hukum dan praktik. Menggunakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan normatif, penelitian ini menemukan bahwa hukum negara telah mengatur secara ketat perkawinan beda agama dengan melarangnya. Namun, para pasangan beda agama memanfaatkan celah hukum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan untuk mencatatkan perkawinan mereka. Mereka mengajukan permohonan ke pengadilan negeri dan ketetapannya digunakan sebagai dasar untuk mencatatkan perkawinan mereka. Sebagian dari mereka juga memanfaat “pintu belakang” dengan menikah di luar Indonesia dan kembali untuk mencatatkan administrasi perkawinan mereka. Dengan demikian, tulisan ini berpendapat bahwa ekspresi hukum negara dalam mengatur praktik perkawinan beda agama di Indonesia mencerminkan “dua wajah”. Kajian ini memiliki implikasi penting terutama dalam pemahaman kebijakan, memberikan wawasan mendalam tentang dinamika hukum perkawinan beda agama di Indonesia dan dampaknya terhadap kebebasan beragama bagi warga negara.</em>]</p>2024-02-29T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##http://ejournal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2058Islamic Law of Inheritance among the Yoruba of Southwest Nigeria: A Case Study of Dar ul-Qadha (Arbitration Panel)2024-03-18T16:59:27+00:00Abdulmajeed Hassan Belloabhassanbello@gmail.com<p>This article examines the complex aspects of succession law, which deals with the transmission of rights and obligations of individuals who have deceased concerning their inheritance, based on the legal sources adopted by society. Although the Yoruba succession practices rely on three different legal sources (common law, customary law, and Islamic law), Dar ul-Qadha (arbitration panel) disregards the latter legal source. The study aims to analyse the application of Islamic inheritance law in three cases of private legal disputes resolved by Dar ul-Qadha from 2008 to 2013. Adopting a qualitative and interpretative research method, the research findings reveal that guidelines for property distribution in Islamic law are overlooked by Dar ul-Qadha. Mothers are excluded from inheritance, while uncles, cousins, half-brothers, and step-sisters can inherit alongside full brothers. Moreover, personal property is not considered in the distribution. Neglect of Islamic inheritance law is attributed to the dominance of Yoruba social and cultural life, influenced by colonialism, Christianity, and societal ignorance. Therefore, this article argues that the distribution of inheritance through a valid Islamic system will accommodate the extended cultural family of the Yoruba. Recommendations emphasise the importance of adhering to legal requirements under land law.</p> <p>[<em>Artikel ini meneliti aspek kompleks hukum suksesi, yang menangani transmisi hak dan kewajiban individu yang telah meninggal terkait dengan harta waris mereka, berdasarkan sumber hukum yang diadopsi oleh masyarakat. Meskipun praktik suksesi masyarakat Yoruba bergantung pada tiga sumber hukum yang berbeda (common law, hukum adat dan hukum Islam), Dar ul-Qadha (Dewan Arbitrase), Logos, mengabaikan sumber hukum yang terakhir. Studi ini bertujuan untuk menganalisis penerapan hukum waris Islam dalam tiga perselisihan hukum pribadi yang diselesaikan oleh Dar ul-Qadha dari tahun 2008 hingga 2013. Dengan mengadopsi metode penelitian kualitatif dan interpretatif, temuan penelitian mengungkapkan bahwa panduan distribusi properti dalam hukum Islam diabaikan oleh Dar ul-Qadha. Ibu dikecualikan dari warisan, sementara paman, sepupu, saudara laki-laki dan perempuan tiri dapat mewarisi bersama saudara laki-laki kandung. Selain itu, harta pribadi tidak dipertimbangkan dalam pembagian. Kelalaian terhadap hukum waris Islam ini disebabkan oleh dominasi kehidupan sosial dan budaya masyarakat Yoruba yang dipengaruhi oleh kolonialisme, kekristenan, dan ketidaktahuan masyarakat. Oleh karena itu, artikel ini berargumentasi bahwa pembagian harta peninggalan melalui sistem surat wasiat Islam yang sah dapat mengakomodasi keluarga besar budaya Yoruba. Rekomendasi menekankan pentingnya mematuhi persyaratan hukum dari hukum tanah.</em>]</p>2024-02-29T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##http://ejournal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2326Child Filiation and Its Implications on Maintenance and Inheritance Rights: A Comparative Study of Regulations and Judicial Practices in Indonesia, Malaysia, and Turkey2024-03-18T17:00:08+00:00Zainal Azwarzainalazwar@uinib.ac.idMhd. Ilham Armiilhamarmi99@gmail.comZulfan Zulfanzulfan@uinib.ac.idAhmad Bakhtiar bin Jelaniahmadbakhtiar@uitm.edu.myAhmad Luthfy Nasriahmadluthfynh@gmail.com<p>This article analyses the national laws governing child filiation and their implications on the maintenance and inheritance rights of children in Indonesia, Malaysia, and Turkey. This is prompted by the fact that the determination of child filiation in these three countries not only adopts singular <em>fiqh</em> (Islamic jurisprudence) provisions, as some Middle Eastern Muslim countries do but also takes into account cultural values and human rights. Therefore, this article employs a normative-juridical approach by conducting a comparative analysis of the laws in these three countries. The research reveals that the laws in these three countries differentiate child filiation based on the marital status of the parents: maternity, biological paternity, and <em>nasab</em> (lineage) paternity. These three typologies of child filiation have implications for their maintenance and inheritance rights. The laws in these three countries stipulate that children born from valid marriages have both maintenance and inheritance rights from both parents, while children born from unregistered or non-marital unions only acquire these rights from their mothers. Although the laws in these three countries grant maintenance and inheritance rights to children born out of wedlock from the maternal lineage, some judicial decisions in Indonesia and Turkey grant these rights from both parents. The differences in judicial practices among these three countries are attributed to variations in legal systems and the Islamic legal schools adopted. Among the three studied nations, this article finds that the legal frameworks and judicial practices in Indonesia and Turkey are more accommodating to children’s rights compared to those in Malaysia.</p> <p>[<em>Artikel ini menganalisis hukum negara yang mengatur ketentuan filiasi anak dan implikasinya terhadap hak pemeliharaan dan waris anak di Indonesia, Malaysia, dan Turki. Hal ini dipicu oleh fakta bahwa penetapan filiasi anak di ketiga negara tersebut tidak hanya mengadopsi ketentuan fikih secara tunggal, seperti beberapa negara Muslim di Timur Tengah, tetapi juga memperhitungkan nilai-nilai budaya dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, artikel ini menggunakan pendekatan normatif-yuridis dengan melakukan analisis perbandingan terhadap hukum di ketiga negara tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa hukum di ketiga negara tersebut membedakan filiasi anak berdasarkan status perkawinan orang tua: maternitas, paternitas biologis, dan paternitas nasab. Ketiga tipologi filiasi anak ini memiliki implikasi terhadap hak pemeliharaan dan waris </em><em>anak. Hukum di ketiga negara menetapkan bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang sah memiliki hak pemeliharaan dan waris dari kedua orang tua, sedangkan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat atau tanpa ikatan perkawinan hanya memperoleh hak tersebut dari ibunya. Meskipun hukum di ketiga negara memberikan hak pemeliharaan dan waris anak tanpa ikatan perkawinan dari jalur ibu, beberapa keputusan yudisial di Indonesia dan Turki memberikan hak-hak tersebut dari kedua orang tua. Perbedaan dalam praktik peradilan di ketiga negara ini disebabkan oleh perbedaan sistem hukum dan mazhab fikih yang dianut. Dari ketiga negara yang diteliti, artikel ini menemukan bahwa hukum dan praktik peradilan di Indonesia dan Turki lebih akomodatif terhadap hak anak dibandingkan dengan di Malaysia.</em>]</p>2024-02-29T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##http://ejournal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2091Examining the Synthesis of Islamic Commercial Principles and Local Customary Practices: A Case Study of Nyambut Sawah Traditions in Tejamari, Banten2024-03-18T17:00:51+00:00Jamaluddin Jamaluddinjamaluddin@uinbanten.ac.idMilatul Hayatmilatulhayat.student@uinbanten.ac.idMasduki Masdukimasduki@uinbanten.ac.idOom Mukarromahoom.mukarromah@uinbanten.ac.idJamaludin JamaludinJamaludin@iuqibogor.ac.id<p>The influence stemming from the intersection of local traditions and religious percept manifests itself in the practice of <em>nyambut sawah</em> (paddy cultivation) among the Tejamari community. This practise resembles the utilisation of agricultural land (<em>muzāra’ah</em>) in Islamic commercial law (<em>fiqh mu’āmalah)</em>, wherein landowners provide agricultural land to cultivators for cultivation with a profit-sharing system. This article aims to analyse the extent to which the practice of <em>nyambut sawah</em> adopts the principles of Islamic commercial law. This study employs a normative-empirical approach, conducting observations and interviews with eighteen informants. The research finds that the <em>nyambut sawah</em> tradition practiced by the Tejamari community reflects the <em>muzāra’ah</em> contract in <em>fiqh mu’āmalah</em>. The <em>muzāra’ah</em> contract is reflected in five models of profit-sharing systems, wherein the division of tasks, responsibilities, profits, and risks has been mutually agreed upon. Despite differences in opinion regarding the responsibility for the cost of rice milling (<em>ngeprik padi</em>), this practice still maintains values of mutual assistance between landowners and cultivators in overcoming economic difficulties. This article argues that local traditions and religious values can together provide solutions for the sustainability of agricultural activities.</p> <p>[<em>Pengaruh interaksi tradisi lokal dengan agama tampak dalam praktik </em>nyambut sawah<em> di kalangan masyarakat Tejamari. Praktik ini menyerupai pemanfaatan lahan pertanian (</em>muzāra’ah<em>) dalam fikih muamalah, di mana pemilik tanah menyediakan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dengan sistem bagi hasil. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana praktik </em>nyambut sawah<em> mengadopsi prinsip-prinsip hukum bisnis Islam. Studi ini menggunakan pendekatan normatif-empiris, melakukan observasi dan wawancara dengan delapan belas informan. Penelitian menunjukkan bahwa tradisi </em>nyambut sawah<em> yang dipraktikkan oleh masyarakat Tejamari mencerminkan kontrak </em>muzāra’ah<em> dalam fikih muamalah. Kontrak </em>muzāra’ah<em> tercermin dalam lima model sistem bagi hasil, di mana pembagian tugas, tanggung jawab, keuntungan, dan risiko telah disepakati secara bersama. Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai tanggung jawab atas biaya </em>ngeprik padi<em> (penggilingan padi), praktik ini tetap mempertahankan nilai-nilai saling tolong-menolong antara pemilik lahan dan penggarap dalam mengatasi kesulitan ekonomi. Artikel ini berargumen bahwa tradisi lokal dan nilai-nilai agama dapat bersama-sama memberikan solusi untuk keberlanjutan kegiatan pertanian</em><em>.</em>]</p>2024-02-29T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##http://ejournal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2187Religious Tradition and Technology: Debate among Penghulus about Online Marriage Law in Banjarmasin2024-04-04T14:24:40+00:00Siti Muna Hayatisiti.hayati@uin-suka.ac.idHusnul Khitamhusnul.khitam1@uin-suka.ac.idZainul Erfanz.erfan9@gmail.comAfifah Aminiafifahamini2002@gmail.com<p>This article explores the perspectives of <em>penghulu</em>s (marriage functionaries) in Banjarmasin regarding online marriage contracts, navigating the interplay between religious tradition and technological. Drawing upon differences in interpretation among Islamic jurists, the article elucidates varying views on the validation of marriage contracts, focusing on the concept of <em>ittiḥād al-majlis</em> (unity of session). This concept significantly shapes <em>penghulu</em>s’ opinions on the legitimacy of online marriage contracts. Against this backdrop, the article analyses the factors driving discourse among <em>penghulu</em>s regarding online marriage contracts and their implications within Banjarese community. Conducting interviews with 12 <em>penghulu</em>s in Banjarmasin over a three-month period from September to November 2023, the study underscores the importance of religious tradition in Banjarmasin society and its adaptation to technological progress in interpreting Islamic law. The study finds that while the majority of <em>penghulu</em>s oppose online marriage contracts, a minority endorse them under specific conditions. Those against them argue that <em>ittiḥād al-majlis</em> necessitates the physical presence of all parties in one location during the marriage contract process, whereas proponents contend that the virtual realm fulfills this criterion. These findings reflect the ongoing societal dialogue regarding the interpretation of religious doctrines and technological innovations, offering valuable insights into the intersection of religious tradition and technology in contemporary Islamic jurisprudence.</p> <p>[<em>Studi ini menginvestigasi perspektif para penghulu di Kota Banjarmasin terkait hukum akad nikah secara online, yang mencerminkan pergumulan antara tradisi keagamaan dan kemajuan teknologi. Dengan mengacu pada perbedaan pendapat para ulama fikih tradisional, artikel ini mengidentifikasi perbedaan dalam penafsiran terhadap </em>ittiḥād al-majlis<em> sebagai salah satu syarat ijab dan kabul dalam perkawinan, yang mempengaruhi pendapat para penghulu tentang sah tidaknya akad nikah secara online. Di tengah kompleksitas ini, artikel bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang membentuk perdebatan para penghulu terkait hukum akad nikah secara online serta implikasinya dalam konteks masyarakat Banjar. Dengan mewawancarai 12 penghulu di Kota Banjarmasin selama tiga bulan, dari September sampai November 2023, studi ini menyoroti pentingnya tradisi keagamaan dalam masyarakat Banjar dan adaptasi terhadap perkembangan teknologi dalam penafsiran terhadap hukum Islam. Kajian ini menunjukkan bahwa mayoritas penghulu menolak akad nikah secara online, sementara sebagian kecil memperbolehkannya dengan syarat tertentu. Mayoritas penghulu yang menolak menginterpretasikan </em>ittiḥād al-majlis<em> dengan keharusan kehadiran para pihak secara fisik dalam satu tempat dalam prosesi akad nikah, sedangkan sebagian kecil yang membolehkan memandang bahwa ruang virtual telah memenuhi kriteria </em>ittiḥād al-majlis<em> tersebut. Temuan ini mencerminkan perdebatan yang sedang berlangsung dalam masyarakat terkait penafsiran terhadap ajaran agama dan perkembangan teknologi, memberikan wawasan yang berharga tentang dinamika tradisi keagamaan dan teknologi dalam pemikiran hukum Islam kontemporer.</em>]</p>2024-02-29T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##http://ejournal.iainptk.ac.id/index.php/jil/article/view/2319Challenging Traditional Islamic Authority: Indonesian Female Ulama and the Fatwa Against Forced Marriages2024-04-07T06:56:48+00:00Arifah Millati Agustinaarifahhammada@gmail.comNor Ismahnorismahkz@gmail.com<p>Forced marriage practices have garnered significant attention from various international communities, including the community of female ulama in Indonesia. Despite being a relatively new presence, the community of female ulama affiliated with the Congress of Indonesian Female Ulama (KUPI) has taken a decisive stance against this practice, issuing a firm fatwa (Islamic legal opinion) that underscores its detrimental impact on women. This article addresses the primary question of why female ulama associated with KUPI redefine the concept of <em>wilāyāt al-ijbār</em> (compulsory guardianship) in marriage, departing from the prevailing opinion among traditional Islamic scholars. Through a combination of literature review and field research conducted over eight months, spanning from April to November 2022, this study reveals that KUPI interprets <em>ijbār</em> not as the paternal right to force a daughter into marriage, but rather as a form of guardianship that entails responsibility and nurturance towards their daughter. This fatwa framework is rooted in what is termed the ‘KUPI Trilogy’: <em>ma</em>‘<em>rūf </em>(good), <em>mubādalah </em>(reciprocity), and <em>keadilan hakiki </em>(substantive justice), which promote principles of equality and egalitarianism. By employing theological, sociological, and juridical arguments and emphasizing the experiences of female victims, KUPI contends that the concept of <em>wilāyāt al-ijbār</em> in <em>fiqh</em> (Islamic jurisprudence) is not absolute, thereby prohibiting guardians from coercing or intimidating their daughters into marriage. This article argues that female ulama have boldly contested the authority of traditional ulama by reinterpreting the essence of <em>ijbār</em> in <em>fiqh</em>, while incorporating the lived experiences of female victims of forced marriage practices.</p> <p>[<em>Praktik perkawinan paksa telah menarik perhatian serius dari berbagai komunitas internasional, termasuk komunitas ulama perempuan di Indonesia. Meskipun relatif baru, komunitas ulama perempuan yang tergabung dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ini mengeluarkan fatwa tegas yang menentang praktik ini, menyoroti dampak buruknya terhadap perempuan. Artikel ini menjawab pertanyaan utama mengapa ulama perempuan yang tergabung dalam KUPI merekonstruksi konsep </em>ijbār<em> wali dalam perkawinan secara berbeda dengan mayoritas pendapat ulama fikih tradisional. Melalui kombinasi penelitian pustaka dan lapangan selama delapan bulan, mulai dari April hingga November 2022, penelitian ini mengungkap bahwa KUPI menginterpretasikan makna </em>ijbār<em> bukan sebagai hak paksa wali untuk menikahkan anak perempuannya, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab dan kasih sayang wali terhadap putrinya. Pendekatan fatwa ini didasarkan pada konsep Trilogi KUPI, yaitu </em>ma‘rūf<em>, </em>mubādalah<em>, dan keadilan hakiki, yang menawarkan semangat kesetaraan dan egaliter. Dengan mengadopsi argumen teologis, sosiologis, dan yuridis dengan menekankan pengalaman korban perempuan, KUPI berpendapat bahwa konsep </em>ijbār<em> wali dalam fikih tidak bersifat mutlak, sehingga wali dilarang memaksa atau mengintimidasi anak perempuannya untuk menikah. Artikel ini berargumen bahwa ulama perempuan telah berani menantang otoritas ulama tradisional dengan merekonstruksi makna </em>ijbār<em> dalam fikih, dengan melibatkan pengalaman korban perempuan terkait praktik perkawinan paksa.</em>]</p>2024-02-29T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##